Banda Aceh : Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong Presiden Jokowi agar mengeluarkan Perppu tentang Pilkada agar calon kepala daerah yang berstatus tersangka harus mundur demi menyelamatkan demokrasi di Indonesia agar tetap beretika dan bermartabat.
Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi III DPR RI, M Nasir Djamil, Jumat (18/11/2016) di Banda Aceh, menanggapi persoalan Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan penistaan agama oleh Kepolisian.
Nasir menyebutkan terdapat sejumlah alasan sehingga ia mengusulkan ide tersebut. Pertama, menurutnya, demokrasi Indonesia haruslah bermartabat. Martabat tersebut bersumber dari etika penyelenggaraan negara yang semestinya diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan hukum.
“Benar kita menghargai asas praduga tidak bersalah (presumption of innoncence), namun dalam penyelenggaraan pemerintahan, kita pun harus membangun etika dan budaya malu, sehingga semestinya dan selayaknya setiap orang yang dijadikan tersangka apalagi terdakwa dan terpidana, haruslah mundur ataupun digugurkan pencalonannya dalam pilkada,” tuturnya.
Menurut Nasir, hal ini penting agar tidak timbul komplikasi politik, sosial dan hukum, jika tersangka memenangkan kontestasi pilkada, sementara kemudian diputus bersalah oleh Pengadilan.
“Apabila ini terjadi, jatuhlah martabat demokrasi Indonesia tersebut,” sebutnya.
Nasir menjelaskan, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, mengandung problem besar. Khususnya Pasal 191 dan 192 yang menyebutkan, ancaman pidana penjara dan denda baik bagi pasangan calon yang mengundurkan diri ataupun terhadap parpol atau gabungan parpol yang sengaja menarik pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU.
“Jika pengunduran diri ataupun penarikan dukungan dilakukan pada putaran pertama, maka calon atau pimpinan Parpol dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar. Kalau putaran kedua, ancaman pidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp 50 miliar, dan paling banyak Rp 100 miliar,” terang Nasir Jamil yang Politisi PKS asal Aceh ini.
“Problem besar dalam UU Pilkada tersebutlah yang seharusnya ditafsirkan oleh Presiden Jokowi, yang memiliki kewenangan mengeluarkan Perppu, yaitu apabila dalam kondisi genting dan memaksa untuk mengeluarkan Perppu Penyelamat Demokrasi. Pasal 191 dan Pasal 192 tersebut haruslah dilengkapi dengan ketentuan, apabila calon ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa apalagi terpidana, maka ia harus mengundurkan diri atau digugurkan, dan bagi partai politik dapat menarik dukungan tanpa harus dipidana.”
Lanjut Nasir, kondisi saat ini sudahlah genting dan memaksa agar demokrasi menjadi bertanggungjawab dan tidak terjebak pada kebebasan yang tidak dibatasi oleh moral dan etika berbangsa dan bernegara.
“Kita berharap kontestasi penyelenggaraan Pilkada dapat mendorong iklim demokrasi yang kondusif, bermartabat dan beretika, demi pemerintahan yang berwibawa dalam mengemban amanah menyejahterakan rakyat,” imbuhnya.
Nasir mengingatkan, pemimpin harusnya adalah sosok yang menjadi teladan, diikuti, dan malu jika dirinya bermasalah dengan hukum.
“Masih pantaskah seorang pemimpin yang menyandang status sebagai tersangka layak dan patut dijadikan nominasi dalam pemilihan kepala daerah? Hanya masyarakat yang sedang sakit secara sosial yang menjawab layak,” ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat yang mendambakan keteladanan tentu menolaknya. Presiden bertanggungjawab untuk menyelamatkan para kepala daerah dan masyarakat dari kubangan demoralisasi demokrasi yang saat ini sudah " dilegalkan" oleh segelintir orang yang duduk di kekuasaan dengan memanfaatkan posisinya sebagai pembentuk undang undang.
Undang-undang yang ada menurut Nasir, telah membuat calon kepala daerah dan partai pengusung disandera pragmatisme yang melabrak tatanan dan nilai nilai luhur budaya bangsa.
"Maju kena, mundur kena. Karena itu Perppu diharapkan bisa melepaskan beban politik dan mengembalikan agar demokrasi di negeri ini semakin beretika dan beradab".
Presiden juga diharapkan untuk mampu membenahi isntitusi penegak hukum agar dalam menjalankan tugasnya tidak ditunggangi dan diintervensi sehingga dengan mudah mengkriminalisasikan seseorang tanpak indikasi dan bukti yang kuat. Etika, hukum dan demokrasi harus seiring dan sejalan agar demokrasi ala Indonesia bisa mensejahterakan rakyat. (sumber)
0 Komentar untuk "Presiden Harus Keluarkan Perppu untuk Selamatkan Etika Pejabat Publik"